Sampah Plastik, Prestasi Baedowy

From: Kompas, Sabtu, 16 Mei 2009

Enam tahun silam Mohammad Baedowy masih berkutat dengan kesibukannya sebagai auditor di sebuah bank asing yang berkantor di World Trade Center, Jakarta. Masa itu tidak sedikit karyawan bank didera kecemasan lantaran bank mereka terpuruk, dilikuidasi, atau merger dengan bank lain sebagai dampak krisis moneter yang menghantam Indonesia.

"Saat itu saya melihat banyak teman yang ketar-ketir menunggu nasib. Saya berpikir, daripada ikut susah, lebih baik berhenti duluan. Saya lantas mengundurkan diri dari perusahaan," tutur Baedowy ketika ditemui pada suatu siang pertengahan November lalu.

Berhenti bekerja di bank, Baedowy lalu mendalami pekerjaan sampingan sebagai manajer keuangan pada sebuah perusahaan batik yang memiliki pabrik di Pekalongan, Jawa Tengah. Selain mengurus dan menata keuangan pabrik, ia juga bertugas mengatur kegiatan pameran produksi batiknya.

Roda kehidupan putra pertama pasangan Supomo dan Zubaidah ini lantas berbalik 180 derajat setelah ia bertemu dengan seorang pejabat bank yang menawarinya berkongsi bisnis sampah.

"Kerja sama kami hanya berjalan setengah tahun. Ternyata, kami sama-sama belum ahli berbisnis sampah. Tetapi, lantaran saya merasa sudah telanjur, kepalang basah, saya memutuskan untuk mencoba sendiri," ujar lelaki kelahiran Balikpapan, 33 tahun silam, ini.

(Cokorda Yudistira)
     
.:: Plastik dan mesin

 Sampah plastik menjadi pilihan ladang bisnis Baedowy. Alasannya sederhana. Di benak Baedowy, berbisnis sampah plastik tidak membutuhkan modal terlalu besar, persaingan tidak terlalu ketat, dan bisnis sampah tidak dihantui risiko besar. "Kalau tidak laku, bisa disimpan lagi," kata ayah tiga anak ini.

Dengan modal awal Rp 50 juta, Baedowy mendirikan pabrik penggilingan plastik yang dinamainya Fatahillah Interplastik. Namun, berbisnis sampah pun ternyata memiliki tantangan sendiri. Persaingan antarsesama pengusaha limbah plastik ternyata sangat ketat dan keras. Karena sebelumnya tak punya pengetahuan tentang sampah plastik dan minim peta perdagangan, tidak jarang Baedowy harus pulang dengan modal nyaris habis.

Kendala lain, satu-satunya mesin pemotong (crusher) plastik di pabrik Baedowy kerap ngadat sehingga produksinya terganggu. Situasi ini dialami Baedowy selama lebih dari dua tahun. "Sambil jalan, saya belajar betulin mesin itu. Saya bongkar, kemudian pasang lagi. Pokoknya sampai hafal betul isi perut mesin itu," ujar Baedowy.

Penggemar lagu-lagu Beatles dan Lobo ini juga memperdalam pengetahuannya tentang jenisjenis plastik dan sumber-sumber limbah plastik. Kini, Baedowy mengaku semakin paham ragam jenis plastik dan hasil dari daur ulang dari setiap sampah plastik tersebut.

Gelas plastik air mineral, misalnya, memiliki kode PP, singkatan dari polypropylene, sementara botol air mineral atau botol jus memiliki kode PET (polyethylene tereththalate). Berbeda jenis limbah plastik, berbeda pula harganya di pasaran.

Sambil menjalankan usahanya itu, Baedowy rajin mengunjungi pameran industri, terutama yang berkaitan dengan mesin pengolah plastik. Brosur-brosur tentang mesin pengolah plastik dikumpulkannya. Sampai di kantor atau di rumah, Baedowy lantas menggambar ulang dan mempelajari cara kerja mesin tersebut.

Kini, laki-laki tamatan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang ini tidak hanya mampu berbisnis daur ulang limbah plastik. Melalui perusahaannya, CV Majestic Buana Group, di Cimuning, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Baedowy juga membuat mesin-mesin pengolah limbah plastik, antara lain mesin penghasil pelet plastik, mesin crusher penghasil pencacah plastik, dan mesin pengolah lainnya.

Mesin-mesin itu ia jual kepada mitra, istilah Baedowy kepada relasi bisnisnya yang sama-sama mengolah limbah plastik. Ia juga diminta membangun mesin atas pesanan instansi pemerintah. Dua di antaranya dari Departemen Kelautan dan Perikanan serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

.:: Prestasi      
     
Baedowy mengakui bahwa mesin-mesin tersebut bukan seutuhnya orisinal hasil pemikirannya sendiri.

"Mesin-mesin itu sudah ada, tetapi saya ubah lagi sesuai dengan kebutuhan pengguna dan kondisi yang ada di lapangan," tutur suami Ririn Sari Yuniar ini.

Hampir enam tahun menggeluti bisnis daur ulang sampah plastik, Baedowy tidak hanya memperoleh keuntungan materi hingga puluhan juta rupiah per minggu, tetapi juga lebih dari 40 mitra yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Dari mitra- mitra tersebut, Baedowy dipasok hasil olahan sampah plastik, yang kemudian diekspor ke China. Puluhan warga Cimuning pun dikaryakan di pabrik Baedowy.

Selain memproduksi cacahan plastik, pabrik Baedowy juga memproduksi lakop (ujung) sapu ijuk dari bahan daur ulang sampah plastik, yang kemudian dijual ke pabrik dan perajin sapu ijuk dengan harga Rp 500 per buah. "Saya kewalahan memenuhi pesanan. Jarang ada stok di gudang saya," ujar Baedowy.

"Masalah sampah adalah masalah besar yang dihadapi bangsa kita. Tetapi, kalau sampah diolah secara tepat, dengan teknologi yang tepat, dan ada peluang memasarkan hasil daur ulangnya, sampah ini bisnis bernilai dollar," papar Baedowy.

"Saya punya obsesi untuk menyebarluaskan pengetahuan saya ini kepada orang lain," katanya menambahkan.

Beadowy, Rezeki Sampah plastik

Keinginan untuk mendapat jaminan tetap memiliki penghasilan mendorong Muhamad Baedowy mengembangkan jiwa wiraswastanya. "Baedowy menjadi salah satu penerima penghargaan wiraswasta kecil dan menengah terbaik 2008-2009 versi dji Sam Soe Award".

Falsapah yang dipegangnya adalah tidak ingin berpenghasilan tetap, tetapi memilih tetap berpenghasilan."sekarang hidup makin susah kalau hanya bergantung pada penghasilan tetap, ungkap Baedowy yang menjadi peserta pameran produk Indonesia 2009 di jakarta.

Keinginan untuk tetap berpenghasilan tetap ini di wujudkannya dengan selama 9 tahun membangun pengolahan sampah organik. Keuletan dan kegigihan pria kelahiran Balikpapan, kalimantan Timur itu membuahkan berbagai penghargaan antara lain juara pertama pemuda pelopor Tingkat Nasional tahun 2006 atas dedikasinya dibidang usaha.

Jika wiraswata Baedowy sudah terlihat ketika masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur. Meski dari keluarga mapan, dari orangtua yang bekerja di bidang perminyakkan, Baedowy iseng - iseng berjualan pisang molen di kampusnya. Dia kemudian di kenal dengan julukan Momo molen.

"Dari usaha ini saya mendapat pelajaran berharga jual makanan memiliki kelemahan. Makanan bisa kedaluarsa. "kata suami Ajeng Ririn Sari Yuniar ini".

Setelah lulus kuliah, ia merantau ke Jakarta dan pada 1997 bekerja di Royal Bank Scotland (RBS). Sembari bekerja, Baedowy mencoba berjualan jangkrik untuk pakan ikan . Saat itu perdagangan jangkrik sedang melonjak.

Namun, keinginan untuk tetap berpenghasilan menguatkan tekadnya membangun usaha sendiri. Ia memutuskan keluar dari pekerjaanya Sebagai auditor di RBS pada 1999. Bagi lelaki kelahiran 2 Mei 1973 ini, bekerja dibawah tekanan menjadikan dirinya tidak bahagia.

Keinginan untuk membangun usaha sendiri itu disampaikan kepada pimpinan Bank swasta tempatnya bekerja. Pemimpin Bank tersebut menyatakan, Baedowy tidak akan mencapai kesuksesan. Namun itu tidak menyurutkan niat Baedowy menjadi wiraswasta.

"Untuk meraih sukses dengan tetap berpenghasilan, saya pikir harus berani melawan arus. Pengusaha sukses Bob Sadino menyebut, kesuksesan hanya bisa diraih dengan cara berani menjadi "gila". Tentu mesti punya penghitungan, minimal setengah matang. Bukan sekedar "gila", kata Baedowy.

Tekadnya menjadi wiraswasta semakin kuat ketika pada 1998 Indonesia dilanda kritis ekonomi. Banyak rekan kerjanya khawatir kehilangan pekerjaan.

Karakterristik Usaha

Dari situasi ini , Baedowy mulai berpikir untuk memulai usaha yang membuatnya merasa nyaman hingga usia itu. Ia pun menetapkan kriteria usahanya yaitu tidak mengenal resiko mati, busuk, kadaluarsa, modal sedikit, sulit sehingga relatif tanpa pesaing, dan hasilnya bisa langsung di pakai.

Bapak tiga anak ini mulai melirik usaha pengolahan sampah plastik. Pada tahun 2000 dengan modal 50 juta dari uang tabungan nya, dibantu seorang karyawan, Baedowy mulai usaha penggilingan sampah plastik.

Modal yang ditanamkan digunakan untuk membeli mesin penggilingan dan sebuah mobil pick up untuk mengambil sampah plastik dari lapak pemulung.

Setiap malam Baedowy dan karyawanya berkeliling kelapak pemulung untuk mendapatkan sampah plastik didaerah Cikampek, Rawamangun, dan Pulogadung. Keesokan harinya, sampah plastik digiling menjadi biji plastik.

Dalam menjalankan usaha ini, Baedowy pernah dihinggapi rasa frustasi karena mesin rusak. Situasi menjadi makin sulit karena karyawan bagian produksinya pergi akibat tidak ada pekerjaan selama dua pekan. Dari pengalaman ini Baedowy pun berupaya merekayasa mesin penggilingnya.

Usaha Baedowy sebanyak 85 persen mengandalkan bahan baku dari dalam negeri. Sisanya, 15 persen dari impor, terutama mesin penggerak di China.

Namun, Baedowy melihat ada peluang memproduksi dan menjual mesin buatan sendiri. Sejak 2001, dia mengajak pembelinya bermitra. Baedowy melatih, membina mereka menjalankan usaha, dan membeli produknya yang sudah berupa biji plastik. kini dia punya lebih dari 60 mitra di seluruh indonesia.

Dari setiap kilogram sampah plastik yang dicacah, keuntungan yang didapat Rp. 500 per kg. Kalau dalam sepekan mitra Baedowy dapat mencacah 2 ton, keuntungan yang didapat bisa mencapai Rp. 1 juta.

Botol air minum dalam kemasan (AMDK) diolah menjadi benang polister dengan harga Rp. 4500-Rp. 5000 per kg. Adapun gelas AMDK diolah menjadi campuran tali rafia yang harga jualnya Rp. 7000 per kg.

Kini Baedowy mengolah sendiri botol sampo dan botol oli menjadi biji plastik dengan nilai jual Rp. 8000 per kg.

Biji-biji plastik itu digunakan sebagai bahan baku rumah sapu ijuk yang didistribusikan kepada penjual sapu di Semarang, Solo, Tasikmalaya, Bandung, Lampung, dan Palembang. Bahkan, ada pelanggannya yang berasal dari China. Kini Baedowy memiliki 40 karyawan.

Dalam berusaha, Baedowy meyakini bahwa keuntungan bukan semata-mata dari kemampuan mesin, melainkan karena kegigihan dan keuletan mitranya mencari bahan baku sampah plastik.

Oleh Stefanus Osa Triyatna